TALIABU – Pembatalan kontrak proyek peningkatan ruas jalan Bobong–Dufo kembali membuka persoalan serius dalam tata kelola proyek infrastruktur di Kabupaten Pulau Taliabu. Kegagalan proyek strategis yang menjadi akses utama masyarakat menuju pelabuhan dan jalur lintas selatan itu dinilai mencerminkan lemahnya kinerja dan tanggung jawab penyedia jasa konstruksi.

Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pulau Taliabu, Amin Ata Sahafi, secara tegas mendesak Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) agar mem-blacklist CV Srikandi sebagai pelaksana proyek yang kontraknya resmi dibatalkan pada akhir Desember 2025.

“Kami awalnya menaruh kepercayaan penuh kepada CV Srikandi. Namun faktanya, proyek vital yang menyangkut kepentingan masyarakat luas justru gagal dikerjakan. Ini sangat disayangkan,” ujarnya, Senin (22/12/2025).

Menurut Ata, kegagalan tersebut menjadi indikator kuat bahwa CV Srikandi tidak mampu menjalankan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak, regulasi teknis, serta standar yang ditetapkan Dinas PUPR Pulau Taliabu.

“Kalau kinerjanya seperti ini, seharusnya tidak lagi diberikan ruang. PUPR harus bersikap tegas dengan mem-blacklist CV Srikandi dan menyerahkan pekerjaan kepada perusahaan lain yang lebih profesional dan bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia juga menyoroti fakta bahwa proyek jalan Bobong–Dufo telah dua kali dianggarkan dalam APBD 2025, namun tetap berujung kegagalan. Pada APBD Induk 2025, proyek sempat ditunda dengan alasan keterbatasan anggaran. Selanjutnya, melalui APBD Perubahan, anggaran ditingkatkan hingga Rp2,9 miliar, namun realisasi pekerjaan tetap tidak berjalan.

“Anggaran sudah ditambah, tetapi proyek justru disetop. Ini menunjukkan ada persoalan serius yang harus dievaluasi secara menyeluruh. PUPR harus lebih selektif menilai kredibilitas perusahaan, apalagi proyek ini menyangkut akses publik,” tandasnya.

Selain meminta CV Srikandi dimasukkan ke dalam daftar hitam (blacklist), Ata juga mendesak Bupati Pulau Taliabu untuk melakukan evaluasi menyeluruh di tubuh Dinas PUPR, khususnya terhadap Kepala Dinas PUPR yang dinilai tidak selektif dalam menetapkan penyedia jasa konstruksi.

Menurutnya, kegagalan proyek jalan Bobong–Dufo tidak bisa semata-mata dibebankan kepada pihak rekanan, melainkan juga mencerminkan lemahnya fungsi seleksi, pengawasan, dan pengambilan keputusan di internal Dinas PUPR.

“Bupati harus turun tangan dan mengevaluasi Dinas PUPR secara menyeluruh, terutama Kepala Dinas. Jangan sampai kegagalan proyek strategis ini terus berulang hanya karena ketidaktegasan dan ketidakcermatan dalam memilih perusahaan,” tegasnya.

Ia menilai, proyek infrastruktur yang menyangkut akses vital masyarakat semestinya dikerjakan oleh perusahaan yang benar-benar memiliki kapasitas teknis, manajerial, dan komitmen, bukan sekadar memenuhi syarat administrasi.

“Kalau seleksinya tidak ketat, maka dampaknya selalu dirasakan masyarakat. Jalan ini bukan proyek biasa, tapi urat nadi aktivitas warga menuju pelabuhan dan jalur lintas selatan,” tambahnya.

Ata juga mengingatkan agar evaluasi tersebut tidak berhenti pada tataran administratif semata, tetapi menyentuh aspek tanggung jawab dan profesionalisme pejabat teknis di lingkungan Dinas PUPR.

Mawan Mawan
Editor
Seputar Taliabu
Reporter