Opini: Perputaran Ekonomi di Kota Bobong Mandek, Pemerintah Harus Segera Bertindak
Oleh : Sauti Jamadin (Pemuda Fangahu)
Editor : Mawan
TALIABU – Kota Bobong, sebagai ibu kota Kabupaten Pulau Taliabu, semestinya menjadi pusat aktivitas ekonomi yang hidup dan berkembang. Namun faktanya, denyut ekonomi di kota ini justru berjalan lambat, bahkan nyaris mandek. Pasar sepi, pelaku UMKM mengeluh, dan arus uang tak bergerak sebagaimana mestinya. Pertanyaannya, apa yang salah?
Mandeknya perputaran ekonomi di Bobong bukan hanya persoalan klasik seperti minimnya investasi atau keterbatasan infrastruktur. Ini adalah konsekuensi dari lemahnya strategi pemerintah dalam membangun sistem ekonomi lokal yang berkelanjutan. Tidak ada skema riil yang mendorong pertumbuhan usaha kecil, tidak ada insentif bagi investor lokal, dan yang paling parah tidak ada kehadiran negara dalam mendongkrak daya beli masyarakat.
Setelah pandemi, daerah-daerah lain
sudah mulai bangkit. Tapi Bobong seolah berjalan di tempat. Tidak ada kebijakan fiskal yang pro-rakyat, tidak ada program padat karya, dan bantuan sosial pun terkesan tambal sulam. Pemerintah daerah tampak sibuk mengurus hal-hal administratif dan politik, alih-alih fokus pada pemulihan ekonomi rakyat.
Bahkan pembangunan fisik yang dilakukan pun tidak berdampak langsung pada peningkatan ekonomi masyarakat. Proyek-proyek dikerjakan oleh kontraktor luar, bahan bangunan diimpor dari kabupaten lain, dan tenaga kerja lokal hanya jadi penonton.
Perputaran ekonomi butuh bahan bakar: konsumsi, investasi, dan produksi. Namun jika semua sumber itu dibatasi atau diabaikan, jangan heran bila roda ekonomi Bobong seperti macet di tanjakan. Akibatnya, pasar tradisional mati suri, warung-warung tutup lebih awal, dan masyarakat kehilangan semangat untuk berusaha.
Pemda harus sadar, pusat pemerintahan tidak boleh jadi pusat kemiskinan. Bobong butuh gebrakan ekonomi yang nyata — dimulai dari reformasi anggaran daerah yang berpihak pada ekonomi rakyat, pemberdayaan UMKM, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif. Jika tidak, Bobong akan terus menjadi kota administratif tanpa denyut ekonomi.
Karena pada akhirnya, kekuatan sebuah daerah bukan diukur dari jumlah gedung pemerintah yang dibangun, tetapi dari seberapa banyak masyarakatnya bisa hidup layak dari hasil keringatnya sendiri.